Miftachul Wachyudi (Yudee) is The Best President RI
MAKALAH POLITIK
TENTANG KONSEP ALIENASI, GAMES THEORY, HAKEKAT , ARTI, SEJARAH, KONSEP, POLA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di
akhir abad 20, konsep alienasi dan keterasingan telah digunakan oleh
banyak filsuf, ilmuwan sosial, teolog, seniman, dan kritikus untuk
menggambarkan sejenis eksistensi yang telah menjadi hal yang umum di
dunia modern. Eksistensi semacam ini seringkali dipandang sebagai
kehidupan yang tidak diinginkan. Dalam istilah umumnya, orang yang
teralienasi biasanya digambarkan sebagai orang yang entah bagaimana
tercerabut dari diri "sejati"-nya, budayanya, alam, orang lain,
kehidupan politik, bahkan Tuhan. Kebanyakan sastra modern di Barat telah
menjadi periwayatan tentang ketragisan, kekalahan diri, dan seringkali
upaya fatal manusia untuk merasa betah berada di dunia.
Sementara
itu, gagasan lain tentang alienasi yang cukup menarik datang dari
Jacques Lacan. Lacan adalah seorang psikoanalisi dan tidak bergulat
langsung dengan filsafat. Dalam pandangannya, alienasi adalah poin dasar
dari identifikasi manusia.Dalam alienasilah anak memperoleh pengalaman
keterpisahan pertamanya, yang menjadi operasi pertandaan yang krusial.
Perbedaan teori politik di Negara berkembang kerap kali menibulkan perbedaan output politik. Politik
luar negeri kerapkali melibatkan tinjauan domestik dan internasional.
Banyak anggapan bahwa faktor-faktor domestik sama kuatnya mempengaruhi
out put politik luar negeri. Kerangka teoritis pun selalu mengambil dua
pertimbangan yakni unsur domestik dan elemen eksternal.
Politik
adalah kajian ilmu social, yang tidak bisa lepas dari aktivitas
kehidupan manusia. Mengapa demikian? Karena manusia adalah makhluk
social. Sehingga bagaimanapun orang memandang politik, selama manusia
ada dan berupaya untuk melanjutkan peradabannya, maka selama itu pula
politik aka nada bersama berdampingan dengan manusia. Sekalipun saat ini
politik telah mengalami berbagai pergeseran, namun rasanya kita tidak
harus dan tidak bisa begitu saja dalam menilai baik tidak politik,
karena pada dasarnya poltik tu dikendalikan oleh manusia, maka wajar
kalu suatu ketika politik mengalami sedikit perubahan makna Karena
manusia sendiri apda dasarnya selalu berupaya untuk berubah. Hanya
tingal kita bisa tidak melihat sisi baik dari politik itu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penjelasan terhadap teori alienasi?
2. Apa yang dimaksud dengan games theory?
3. Hakikat politik, arti dan sejarah perkembangannya?
4. Konsep-konsep perpolitikan?
5. Pola dan bentuk-bentuk politik?
6. Politik modernisasi serta integritasnya?
7. Dan kajian istimewa tentang partai politik?
C. Tujuan Masalah
1. Memenuhi standar nilai dalam pelajaran teori politik.
2. Untuk mengetahui tentang teori alienasi.
3. Mengetahui perkembangan politik di Negara berkembang.
4. Untuk mengetahui bagaimana politik bangsa masa kini
BAB II
TEORI POLITIK
A. TOERI ALIENASI
Menurut Oliver Kelly, alienasi
bukanlah alienasi spekular dari tahapan cermin namun alienasi
diperlukan untuk pertandaan dan relasi subjek kepada bahasa. Sebagaimana
bahasa menjadi yang terpenting, alienasi yang inheren dalam bahasa juga
menjadi yang terpenting. Bahasa, menurut Lacan, merupakan alienasi dan
kekerana budaya yang tersembunyi. Lacan menggunakan retorika alienasi,
namun kita tidak dapat menyimpulkan bahwa dia mencoba memperlihatkan
seluruh kebudayaan manusia sebagai kekerasan dan kejahatan.
Konsep
alienasi dan keterasingan itu penting jika ingin memahami kehidupan di
dunia kontemporer,bahkan untuk memahami eksistensi manusia yang
ditemukan kapanpun atau dimanapun. Secara lebih langsungnya lagi, dengan
memahami konsep ini kita akan terbantu untuk memahami eksistensi dari
orang-orang yang, dikarenakan warna kulit, jenis kelamin, budaya, agama,
atau status ekonomi, secara paling dramatis dipisahkan dari budaya
tempat mereka hidup. Penggambaran bahwa manusia modern adalah manusia
yang teralienasi atau terasingkan adalah kontroversial. Beberapa
kontroversi tersebut disebabkan oleh asosiasi konsep ini dengan karya
Karl Marx serta para pengikut politik dan intelektualnya. Selain itu,
umumnya orang membuat kesalahan serius ketika mencoba mempelajari konsep
ini secara serius dikarenakan konotasi Marxisnya. "Alienasi" dan
"Keterasingan" telah memiliki makna yang sangat berbeda ketika konsep
tersebut muncul dalam karya para pemikir yang berbeda.
Seluruh
konsep alienasi ini di ungkapkan pertama kali dalam dunia barat pada
konsep pemujaan berhala dalam konsep perjanjian lama essensi apa yang
disebut para nabi sebagai “Syirik”. Bagi Marx, Alienasi dalam
proses kerja, dari produk kerja dan lingkungan, tidak bisa dipisahkan
dengan alienasi dari diri manusia sendiri, dari sesama manusia dan alam.
Manusia yang teralienasi ini bukan hanya teralienasi dari sesamanya,
tetapi juga teralienasi dari keadaan speciesnya, kedua alienasi bersifat
alamiah dan spiritual. Alienasi dari esensi manusia mengarah pada
egotisme eksistensial, yang digambarkan Marx sebagai esensi manusia yang
menjadi” sebuah alat eksistensi individualnya. Alienasi mengarah pada
pemeliharaan semua nilai.
Teori
alienasi atau keterasingan, sebagaimana diekspresikan dalam
tulisan-tulisan Karl Marx muda (khususnya dalam Manuskrip 1844), merujuk
ke pemisahan hal-hal yang secara alamiah milik bersama, atau membangun
antagonisme di antara hal-hal yang secara pas sudah berada dalam
keselarasan. Dalam penggunaan yang terpenting, konsep itu mengacu ke
alienasi sosial seseorang dari aspek-aspek “hakikat kemanusiaannya” (Gattungswesen, biasanya diterjemahkan sebagai species-essence atau 'esensi spesis,' atau species-being). Marx percaya bahwa alienasi merupakan hasil sistematik. .
Teori-teori
Marx ini mengandalkan pada Esensi-esensi Kekristenan (1841) karya
Feuerbach, yang berpendapat bahwa gagasan tentang Tuhan telah
mengasingkan ciri-ciri makhluk manusia. Stirner akan membawa analisis
itu lebih jauh, dengan mendeklarasikan bahwa bahkan “kemanusiaan” itu
sendiri merupakan pengasingan dari individu. Marx dan Engels menanggapi
pandangan itu dalam Ideologi Jerman(1845).
Empat Jenis Alienasi
Teori
Alienasi Marx didasarkan pada pengamatannya bahwa di dalam produksi
industrial yang muncul di bawah kapitalisme, para buruh tak terhindarkan
kehilangan kontrol atas hidup mereka, karena tidak lagi memiliki
kontrol atas pekerjaan mereka.
Marx mengatribusikan empat jenis alienasi pada buruh di bawah kapitalisme.
1. Manusia teralienasi dari alam.
2. Manusia teralienasi dari dirinya sendiri, dari aktivitasnya sendiri.
3. Manusia teralienasi dari species-being (dari dirinya sebagai anggota dari human-species).
4. Manusia teralienasi dari manusia lain.
Bentuk
lanjut dari keterasingan ini adalah keterasingan kaum proletar itu
sendiri dari kehidupan mereka yang berinti pada pekerjaan, namun
terasing dalam bekerja itu sendiri. Pada dasarnya mereka menyadari apa
keterasingan mereka terhadap kehidupan ini, namun dengan ilusi yang
diciptakan oleh pemilik modal dalam bentuk upah sebagai imbalan dari apa
yang telah mereka kerjakan membuat para pekerja ini tidak menyadari
keterasingan mereka tersebut. Hal ini menciptakan keresahan sosial yang
menurut Marx menciptakan pelarian pada agama.
Kembali
pada teori alienasi, bukan hanya kaum proletar yang mengalami alienasi,
melainkan juga kaum kapitalis yang juga terasing dari kehidupan mereka.
Kapitalis tersebut telah sedemikian rupa terasing dari kehidupan mereka
selain mencari keuntungan material. Namun, yang terjadi dalam alienasi
kaum kapitalis adalah semakin terjaganya kemapanan kondisi mereka dalam
strata social mereka.Dari segi ekologis, terjadi keterasingan terhadap
lingkungan dalam, baik bagi kaum proletar maupun kaum kapitalis. Hal
yang terjadi dalam kaum proletar berkaitan dengan kebebasan yang melalui
alienasi-alienasi akibat kegiatan berkerja mereka telah terenggut. Di
sisi lain, bentuk keterasingan dari kaum kapitalis terhadap lingkungan
adalah bagaimana mereka memperlakukan lingkungan tersebut hanya sebatas
faktor produksi yang dapat mendukung pencapaian tujuan utama mereka,
yaitu meraih keuntungan sebesar-besarnya. Kontra dengan yang terjadi
pada kaum proletar, kaum kapitalis yang menganggap diri mereka memiliki
kebebasan sepenuhya untuk mengeksploitasi berbagai potensi alam untuk
mencapai tujuan utama mereka. Yang terjadi dalam alienasi kaum kapitalis
terhadap lingkungan merupakan bentuk pengabaian kondisi lingkungan yang
dilakukan secara sengaja berkaitan dengan tujuan mereka, dengan kata
lain, kaum kapitalis telah terbutakan oleh tujuan material mereka dalam
melihat kondisi lingkungan.
Dalam
kasus alienasi terhadap lingkungan yang pada dasarnya berimplikasi
terhadap kehidupan pada masing-masing kelas.Meskipun Marx tidak pernah
secara langsung mengungkapkan teori alienasi dalam terhadap lingkungan
ini, namun dengan tujuan Marx yang berusaha menggambarkan masyarakat
ideal tanpa kelas dan manusia dapat hidup dalam harmoni, revolusi atas
alienasi terhadap lingkungan jelas juga diiperlukan demi mencapai
kehidupan harmoni tersebut.
Alienasi
menurut Marx bukan hanya berarti bahwa manusia tidak mengalami dirinya
sebagai pelaku ketika menguasai dunia, tetapi juga berarti bahwa dunia (
alam, benda dan manusia sendiri) tetap asing bagi manusia. Dunia
berdiri diatas dan menentang manusia sebagai objek, meskipun dunia bisa
menjadi objek ciptaan manusia. Alienasi pada dasarnya melanda dunia dan
manusia secara pasif dan reseptif sebagai subyek yang terpisah dengan
objek.
Bagi
Marx, proses alienasi diungkapkan dalam kerja dan pembagian buruh.
Kerja baginya adalah keterhubungan aktif manusia dengan alam, penciptaan
sebuah dunia baru, termasuk penciptaan dirinya sendiri. Marx
melanjutkan lebih jauh. Dalam kerja yang tidak teralienasi manusia bukan
hanya mewujudkan dirinya sebagai seorang individu, tetapi juga sebagai
sebuah makhluk species. Bagi marx, juga bagi Hegel dan banyak pemikir
abad pencerahan lain, setiap individu mempresentasikan species, yakni
kemanusiaan sebagai keseluruhan universalitas manusia : perkembangan
manusia terhamparnya seluruh kemanusiaannya. Dalam proses kerja, manusia
“ tidak lagi memproduksi dirinya hanya secara intelektual, sebagaimana
dalam kesadaran, tetapi secara aktif dan penuh rasa, dan melihat
bayangnya sendiri disebuah dunia yang telah dibentuknya. Oleh karena itu
ketika buruh yang teralienasi oleh produksinya dari manusia, dia juga
menjauhkan kehidupan speciesnya, objektifitas nyatanya sebagai sebuah
makhluk species, menghilangkan kelebihannya dibanding binatang, begitu
jauh sehingga tubuh anorganis dan wataknya lenyap. Hanya ketika buruh
teralienasi mentransformasikan aktifitasnya secara bebas dan memiliki
tujuan sendiri menjadi sebuah alat, dia mentransformasikan sebuah
species manusia, menjadi alat eksistensi fisik. Kesadaran, yang memiliki
manusia dari speciesnya, ditransformasikan melalui alienasi sehingga
kehidupan species menjadi sebuah alat untuknya.” Marx berasumsi bahwa
alienasi kerja yang mengalir sepanjang sejarah mencapai puncaknya dalam
masyarakat kapitalis, dan bahwa kelas pekerja menjadi kelompok yang
paling teralienasi. Asumsi ini didasarkan pada ide bahwa pekerja, yang
tidak mempunyai peran untuk menentukan arah kerjanya, yang dipekerjakan
sebagai bagian dari mesin yang dilayani, ditransformasikan menjadi
barang yang bergantung pada modal. Alienasi kerja dalam produksi manusia
jauh lebih besar daripada alienasi yang terjadi ketika produksi
dikerjakan.
Kemudian
yang ditulis Marx dalam Capital: “ Di dalam sistem kapitalis, semua
metode untuk membangkitkan produktivitas sosial buruh dihasilkan oleh
buruh individual;semua alat untuk mengembangkan produksi mengubah
dirinya menjadi sebuah alat untuk menguasai dan untuk mengeksploitasi
pembuatnya. Alat-alat tersebut merusak buruh sehingga menjadi sekedar
bagian dari manusia, mendegardasikan manusia sampai menjadi bagian dari
mesin, menghancurkan setiap sisa daya tarik dalam kerjanya dalam
mengubah buruh menjadi pekerja yang dibenci. Alat-alat tersebut
memisahkan potensialitas intelektualnya daridiri buruh sebagaimana sains
yang dimilkinya sebagai sebuah kekuasaan yang independen.”Bagi Marx
Alienasi dalam proses kerja, dari produk kerja dan lingkungan, tidak
bisa dipisahkan dengan alienasi dari diri manusia sendiri, dari sesama
manusia dan alam. Manusia yang teralienasi ini bukan hanya teralienasi
dari dari sesamanya, tetapi juga teralienasi dari ke-ada-an speciesnya,
kedua alienasi bersifat alamiah dan spiritual. Alienasi dari esensi
manusia mengarah pada egotisme eksistensial, yang digambarkan Marx
sebagai esensi manusia yang menjadi” sebuah alat eksistensi
individualnya. Buruh yang teralienasi itu terasing dari tubuhnya
sendiri, alam eksternal, kehidupan mental dikehidupan manusia.”Alienasi
mengarah pada pemeliharaan semua nilai. Dengan membuat ekonomi dan
nilai-nilainya-“keuntungan kerja, hemat dan ketenangan hati”-sebagai
tujuan hiudp yang tertinggi, manusia telah gagal mengembangkan
nilai-nilai yang tertinggi,manusia gagal mengembangkan nilai-nilai moral
yang benar,”kaya dengan hati nurani, kebenaran dan lain sebagainya.
Bagaimana saya dapat menjadi benar jika saya tidak hidup, dan bagaimana
saya dapat memiliki hati nurani jika saya tidak menyadari segala
sesuatu?”. Dalam keadaan teralienasi, setiap bidang kehidupan, ekonomi
dan moral, menjadi independen dari bidang kehidupan lainnya” setiap
bidang kehidupan terkonsentrasi pada sebuah bidang kegiatan khusus yang
teralienasi dan dengan sendirinya teralienasi dengan bidang kegiatan
lainnya.
B. POLITIK LUAR NEGERI DI NEGARA BERKEMBANG
Jika
faktor-faktor domestik itu menentukan kebijakan luar negeri maka
kondisi negara-negara itupun ditinjau dari segi perkembangan ekonomi
memberikan nuansa terhadap perilakunya di dunia internasional.
Klasifikasi sederhana terhadap sebuah negara dalam konteks ekonomi
adalah negara-negara maju dan negara-negara berkembang.
Artikel
ini akan mengulas pendekatan terhadap studi politik luar negeri negara-
negara berkembang. Namun sebelum sampai pada kajian terhadap kebijakan
eksternal negara berkembang dilakukan terlebih dahulu survai singkat
terhadap kerangka teoritis studi politik luar negeri.
Sebuah
daftar kerangka teoritis yang dicatat Lyod Jensen (1982) memaparkan
lima model dalam pembuatan kebijakan politik luar negeri1. Pertama,
model strategis atau rasional. Pendekatan ini sering digunakan oleh
sejarawan diplomatik untuk melukiskan interaksi politik luar negeri
berbagai negara atau tindakan para pemimpin negara-negara itu dalam
merespon negara lainnya. Negara dan pengambil keputusan dipandang
sebagai aktor terpencil yang memaksimalkan tujuannya dalam politik
global. Pendekatan ini memiliki kelemahan adalah asumsi kalkulasi
rasional yang dilakukan para pengambil kebijakan dalam situasi ideal
yang jarang terjadi. Dengan kata lain apa yang disebut rasional oleh
peneliti sering dianggap rasional oleh yang lainnya. Bahkan ada
kelemahan lainnya bahwa model seperti ini menyandarkan pada intuisi dan
observasi.
Model
kedua adalah pengambilan keputusan. Penulis terkenal kerangka analisa
ini adalah Richard C Snyder, HW Bruck dan Burton Sapin. Ia menggambarkan
modelnya dalam kerangka yang kompleks dengan meneropong jauh kedalam
"kotak hitam" pengambilan kebijakan luar negeri. Salah salah satu
keuntungan pendekatan ini yakni membawa dimensi manusia kedalam proses
politik luar negeri secara lebih efektif.
Jensen
juga menyebutkan adanya model lain yakni politik birokratik. Pendekatan
ini menekankan pada peran yang dimainkan birokrat yang terlibat dalam
proses politik luar negeri. Menurut Jensen, karena peralihan yang
signifikan dalam pemerintahan dan partai- partai politik di banyak
negara, maka politik luar negeri tergantung kepada pelayanan pegawai
negeri yang lebih permanen untuk informasi dan nasihat. Oleh sebab itu
birokrat - termasuk di jajaran Departemen Luar Negeri - mampu
mempengaruhi pembentukan politik luar negeri. Namun demikian peran
birokrat ini tak bisa dibesar-besarkan karena keterbatasan pengaruhnya
juga.
Keempat,
model adaptif menekankan pada anggapan bahwa perilaku politik luar
negeri seyogyanya difokuskan pada bagaimana negara merespon hambatan dan
peluang yang tersedia dalam lingkungan internasional. Disinilah pilihan
politik luar negeri tidak dalam kondisi terbatas namun sangat terbuka
terhadap segala pilihan.
Model
kelima disebut Jensen sebagai pengambilan keputusan tambahan. Karena
adanya ketidakpastian dan tidak lengkapnya informasi dalam
masalah-masalah internasional, disamping banyaknya aktor-aktor publik
dan privat yang terkait dengan isu- isu politik luar negeri, maka
keputusan tak bisa dibuat dalam pengertian kalkulasi rasional
komprehensif.
Sementara
itu studi politik luar negeri negara-negara sedang berkembang disebut-
sebut "kurang berkembang" atau "tidak berkembang". Namun demikian studi
terhadap Negara berkembang, untuk membedakan dari negara maju seperi
Amerika Serikat atau Inggris, tetap menarik untuk disimak.
Politik luar Negeri Negara Berkembang
Sejauh
ini seperti dikatakan Ali E Hilla Dessouki dan Bghat Korany2, ada tiga
pendekatan yang mendominasi studi politik luar negeri di negara-negara
berkembang baik di Asia, Afrika maupun Amerika Latin.
Pertama,
pendekatan psikologis. Pendekatan ini menilai politik luar negeri
sebagai fungsi impuls dan idiosinkratik seorang pemimpin. Menurut
pandangan ini, raja-raja dan presiden merupakan sumber politik luar
negeri. Oleh karena itu perang dan damai merupakan selera pribadi dan
pilihan individual.
Dalam
hal ini politik luar negeri dipersepsikan bukan sebagai aktivitas yang
dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan nasional atau sosietal melainkan
seperti ditulis Edward Shill tahun 1962 sebagai "bagian dari hubungan
masyarakat". Tujuannya, memperbaiki citra negara, meningkatkan
popularitas pemimpin dan mengalihkan perhatian dari kesulitan-kesulitan
domestik kepada ilusi-ilusi kemenangan eksternal.
Terhadap
pendekatan ini sedikitnya terdapat tiga kritik. Pertama, pendekatan ini
membuat politik luar negeri tampak seperti sebuah kegiatan irasional,
bukan masalah analisis sistematik. Kritik kedua, pendekatan ini
mengabaikan konteks (domestik, regional dan global) dimana politik luar
negeri diformulasikan dan dilaksanakan. Ketiga, pendekatan seperti ini
mengabaikan fakta bahwa karena kepentingan mereka dalam survival
politik, sebagian besar pemimpin menepiskan sifat eksentriknya yang
berlawanan dengan sikap dominan, perasaan publik dan realitas politik.
Memang
sulit mengesampingkan variabel idiosinkratik di kebanyakan negara
berkembang namun yang lebih penting dianalisa bagaimana konteks
pembuatan kebijakan mendorong tipe-tipe kepemimpinan tertentu dan bukan
tipe yang lainnya. Atau bagaimana faktor idiosinkratik pemimpin mungkin
mengubah konteks, mempengaruhi orientasi politik luar negeri pemimpin
lainnya.
Kedua,
pendekatan negara-negara besar yang dominan di kalangan pakar-pakar
realis seperti Hans J Morgenthau. Pendekatan ini memandang politik luar
negeri sebagai fungsi konflik Timur-Barat. Singkatnya, politik luar
negeri negara-negara berkembang dipandang lemah otonominya. Negara
berkembang dipengaruhi rangsangan ekstern mereka bereaksi terhadap
prakarsa dan situasi yang diciptakan kekuatan eksternal. Kelemahan utama
pendekatan ini mengabaikan sumber-sumber dalam negeri dalam politik
luar negeri.
Ketiga,
pendekatan reduksionis ataumode l-builders. Pendapatnya, politik luar
negeri negara berkembang ditentukan oleh proses yang sama dan
perhitungan keputusan yang membentuk politik luar negeri negara-negara
maju. Perbedaan dasarnya adalah kuantifikasinya. Negara berkembang
memiliki sumber-sumber dan kemampuan yang kecil. Oleh sebab itu,
melaksanakan politik luar negeri dalam skala yang lebih kecil. Pandangan
ini berdasarkan asumsi bahwa perilaku semua negara (besar dan kecil,
kaya atau miskin, berkembang atau maju) mengikuti model pengambilan
keputusan aktor rasional.
Dikatakan
pula, semua negara berusaha meningkatkan kekuasaan dan semua negara
juga dimotivasi oleh faktor-faktor keamanan. Oleh karena itulah, politik
luar negeri negara- negara berkembang persis sama seperti negara maju
namun dalam level lebih rendah. Pendekatan ini tidak memperhitungkan
karakter khusus seperti modernisasi, pelembagaan politik yang rendah dan
status ketergantungan dalam stratifikasi sistem global.
Salah
satu ciri-ciri kajian baru, berbeda dengan tiga pendekatan tadi,
menekankan kepada sumber-sumber politik luar negeri dan bagaimana proses
modernisasi dan perubahan sosial mempengaruhi perilaku eksternal
negara-negara berkembang.
Misalnya
karya Weinstein tentang politik luar negeri Indonesia yang menghasilkan
pandangan adanya tiga tujuan politik luar negeri3. Pertama,
mempertahankan kemerdekaan bangsa melawan ancaman yang dipersepsikan.
Kedua, mobilisasi sumber-sumber eksternal untuk pembangunan dalam
negeri. Dan ketiga, mencapai sasaran-sasaran yang berkaitan dengan
politik dalam negeri seperti mengisolasi salah satu oposisi politik dari
dukungan luar negeri, memanfaatka legitimasi untuk tuntutan-tuntutan
politik domestik dan menciptakan simbol-simbol nasionalisme dan
persatuan nasional.
Contoh
lain kajian baru politik luar negeri negara berkembang menekankan
sumber- sumber domestik dan bagaimana proses modernisasi dan perubahan
sosial mempengaruhi perilaku eksterrnal. East dan Hagen menggaris bawahi
faktor sumber-sumber untuk membedakan dengan ukuran-ukuran faktor itu
berupa jumlah absolut sumber-sumber yang tersedia dengan faktor
modernisasi yang artinya kemampuna memobilisasi, mengontrol dan
menggunakan sumber-sumber ini. Modernisasi itu sendiri dipandang sebagai
proses dimana negara-negara meningkatkan kemampuannya untuk mengontrol
dan menggunakan sumber- sumbernya. Ini berarti, negara yang modern punya
kemampuan yang lebih besar dalam bertindak.
Unsur
penting lainnya kajian politik luar negeri negara berkembang menekankan
pada posisi ekonomi politik aktor dalam startifikasi sistem global.
Johan Galtung seperti dikutip Marshall R Singer melukiskan dengan jelas
tentang stratifikasi dalam sistem internasional ini4. Galtung memaparkan
bahwa sistem politik internasional mirip dengan sistem feodal yang
terdiri dari negara besar alias "top dog", negara menengah dan regional
serta negara berkembang atau negara "underdog" yang lebih kecil.
Dalam
konteks ini, ketidaksederajatan menjadi fokus utama. Negara berkembang
eksis dalam tatanan dunia ini dicirikan dengan ketidaksederajatan antara
negara dalam level pembangunan sosial ekonomi, kemampuan militer dan
stabilitas politik dan prestise. Akibatnya, penetrasi luar terada proses
pengambilan keputusan negara-negara berkembang. Aktor eksternal
berpartisipasi secara otoritatif dalam alokasi sumber-sumber dan
determinasi sasaran-sasaran nasional. Dalam hal ini banyak karya ilmiah
sudah ditulis tentang peranan Dana Moneter Internasional (IMF),
perusahaan multinasional dan bantuan luar negeri negara-negara besar.
Dari
berbagai pendekatan yang ada, tulis Hillal dan Korany, analisis yang
memadai terhadap politik luar negeri negara-negara berkembang semestinya
mempertimbangkan bahwa politik luar negeri adalah bagian dan paket
situasi umum Dunia Ketiga dan merefleksikan evolusi situasi ini. Dengan
demikian, proses politik luar negeri tak dapat dipisahkan dari struktur
sosial domestik atau proses politik domestik.
Menurut
Hillal dan Korany, untuk memahami politik luar negeri negara Dunia
Ketiga perlu membuka "kotak hitam". Dunia Ketiga ini banyak dipengaruhi
stratifikasi internasional. Meskipun negara berdaulat namun
negara-negara Dunia Ketiga, dapat dirembesi, dipenetrasi dan bahkan
didominasi. Oleh sebab itu penting pula melihat struktur global yang
mempengaruhi proses pembuatan kebijakan luar negeri.
Sedikitnya ada tiga persoalan besar yang dihadapi negara berkembang dalam melaksanakan politik luar negerinya. Pertama, dilema bantuan dan independensi. Negara Dunia Ketiga mengalami dilema anara memiliki bantuan luar negeri atau mempertahankan independensi nasional.
Kedua, dilema sumber-sumber dan tujuan yang lebih menekan di negara berkembang dibandingkan negara maju. Dilema ini menyangkut kemampuan para pengambil kebijakan mengejar tujuan di tengah realisme kemampuan negaranya.
Keempat, dilema keamanan dan pembangunan yang merupakan versi modern dari debat lama "senjata atau roti". Sejumlah pakar menilai politik luar negeri terutama merupakan proses atau aktivitas yang tujuan utamanya adalah mobilisasi sumber-sumber eksternal demi pembangunan masyarakat.
Dari paparan teoritis tentang berbagai pendekatan untuk memahami politik luar negeri sebuah negara dan spesifik lagi untuk mengetahui lebih jauh politik luar negeri negara berkembang, penulis menyusun sebuah kerangka analisis sendiri. Kerangka analisis itu terdiri dari empat pilar yakni, lingkungan domestik, orientasi politik luar negeri, proses pengambilan keputusan dan perilaku politik luar negeri.
Ada baiknya unsur-unsur ini diuraikan untuk mengetahui bobot dan rangkaiannya dalam meneliti input dan outputs politik luar negeri berkembang. Pertama, dalam unsur lingkungan domestik sejumlah faktor dianalisa untuk mengetahui apakah yang memperkuat dan menghambat politik luar negeri seperti geografi, struktur sosial, kemampuan ekonomi, kemampuan militer dan struktur politik. Dalam kajian struktur politik dibahas sejauh mana elemen ini memberikan peluang atau menghambat para pengambil keputusan. Menyangkut struktur politik diantaranya stabilitas, legitimasi, tingkat institusionalisasi dan tingkat dukungan publik. Faksionalisasi politik dan instabilitas domestik biasanya menghambat pelaksanaan sebuah politik luar negeri.
Tingkat yang rendah dalam institusionaliasi dan tingginya instabilitas politik di sebagian besar negara berkembang menghasilkan sejumlah hal. Salah satunya adalah keutamaan eksekutif, khususnya dalam pengembangan pusat presiden yang mendominasi proses pengambilan keputusan.
Orientasi
politik luar negeri menyangkut salah satu komponen output politik luar
negeri. Komponen lainnya adalah keputusan dan tindakan. Orientasi adalah
cara elit politik luar negeri sebuah negara mempersepsikan dunia dan
peran negaranya di dunia. Holsti mendefinisikan orientasi sebuah negara
sebagai "sikap umum (sebuah negara) dan komitmen terhadap lingkungan
eksternal, strategi fundamental untuk mencapai tujuan domestik dan
tujuan serta aspirasi eksternal dan untuk menghadapi ancaman yang ada."
Ia mendefinsikan tiga orientasi yakni isolasi, nonblok dan koalisi.
Orientasi ini biasanya stabil. Perubahan berlangsung jika terjadi
peralihan radikal struktur politik domestik, keseimbangan regional dan
sistem global.
Llyod
S Ethredge seperti dikutip Jensen melihat adanya dua orientasi
individual terhadap sistem politik internasional yakni introvert dan
ekstrovert. Kemudian ia membuat matriks dengan mengkaitkannya dengan
unsur dominasi. Selanjutnya unsur proses pengambilan keputusan yang
menekankan personalisasi karakter proses pengambilan keputusan dan
lemahnya institusionalisasi di negara-negara berkembang. Sebenarnya
pengambilan keputusan tidak sesedehana itu. Seorang pemimpin mungkin
mengambil kata akhir untuk menentukan beberapa alternatif namun ia harus
mempertimbangkan banyak variabel dan harus mengingat respon berbagai
kelompok domestik yang berpengaruh. Dalam banyak contoh unit utama
pengambilan keputusan bukanlah presiden secara individual melainkan
presiden sebagai lembaga.
Perilaku
politik luar negeri yang merupakan kerangka analisis berikutnya berisi
tindakan dan posisi konkret serta keputusan negara yang diambil atau
disahkan dalam melaksanakan politik luar negeri. Tindak-tanduk politik
luar negeri merupakan ekspresi konkret orientasi dalam tindakan
spesifik. Pada umumnya perilaku politik luar negeri dicirikan dengan
dukungan dari PBB.
Sementara
itu studi politik luar negeri misalnya Indonesia sudah banyak dilakukan
baik oleh akademisi dalam negeri maupun kalangan peneliti asing. Leo
Suryadinata mengkategorikan kajian politik luar negeri dalam dua
pendekatan yakni studi makro dan mikro5. Ia menyebutkan mereka yang
studi makro antara lain Franklin Weinstein, Anak Agung Gde Agung dan
Michael Leifer.
Sedangkan
studi skala mikro misalnya dilakukan John M Reinhardt, JAC Mackie,
David Mozingo dan Dewi Fortuna Anwar. Perlu ditambahkan pula studi
mutakhir bersifat mikro terhadap politik luar negeri Indonesia dilakukan
Rizal Sukma 6.
Studi
terhadap politik luar negeri juga biasanya membaginya berdasarkan
periode Sukarno dan Soeharto. Sebagian besar studi politik luar negeri
era Soeharto diterbitkan tahun 1970-an dan awal 1980-an. Studi yang
dilakukan Rizal selesai dalam bentuk disertasi tahun 1997. Jadi
tergolong baru dibandingkan studi terakhir yang dilaksanakan Leo yang
terbit tahun 1996.
Dimensi
politik luar negeri negara-negara berkembang lebih kompleks
dibandingkan dengan model untuk studi politik luar negeri negara-negara
maju. Lima model yang diajukan Jensen dalam kajian politik luar negeri,
tidak mencukupi untuk menguraikan rangkaian yang terkait dengan politik
luar negeri yang dilakukan negara sedang berkembang.
Unsur-unsur
domestik seperti pembangunan ekonomi, politik, struktur sosial serta
instabilitas yang terkandung dalam proses perumusan serta aktualisasi
politik luar negeri sangat besar pengaruhnya. Bahkan dalam skala
tertentu, negara berkembang cenderung memiliki instabilitas tinggi
dibandingkan dengan negara maju sehingga polanya tidak ajeg. Disamping
itu faktor sistem internasional dimana hegemoni negara besar juga
berpengaruh, perilaku politik luar negeri juga mengikuti arus
internasional. Ketergantungan ekonomi dan politik Negara berkembang
terhadap negara besar menyebabkan keterbatasan dalam melaksanakan
politik luar negerinya.
C. GAMES THEORY
“Game
Theory” merupakan sebuah pendekatan terhadap kemungkinan strategi yang
akan dipakai, yang disusun secara matematis agar bisa diterima secara
logis dan rasional. Game Theory digunakan untuk mencari strategi terbaik
dalam suatu aktivitas, dimana setiap pemain didalamnya sama-sama
mencapai utilitas tertinggi. Penerapannya banyak dilakukan di berbagai
disiplin ilmu seperti biologi, militer, politik, diplomasi, ilmu sosial,
dll.Teori ini dikembangkan untuk menganalisa proses pengambilan
keputusan dari situasi persaingan yang berbeda dan melibatkan dua atau
lebih kepentingan.
Dalam
teori permainan , para pemain seharusnya sibuk memilih alternatif saat
itu juga yang menurut pandangan mereka, mungkin perlu digunakan dalam
beberapa keadaan yang timbul di masa mendatang. Keadaan yang akan datang
itu tadi digambarkan sebagai hasil dalam suatu permainan. Keseluruhan
jajaran hasil yang mungkin akan didapatkan tersebut dapat didefenisikan
sebagai prospek. Prospek setiap permainan memberi suatu harapan
atau hadiah kepada setiap pemain. Hal ini digambarkan dalam teori
permainan sebagai suatu hasil.
Strategi merupakan
konsep inti teori permaian.strategi mengharapkan rasionalitas para
prilaku para pemain (meskipun ada kemungkinan pembuat keputsan atau
pemain yang “rasional” itu tadi hanya berupa suatu bangun teoritis atau
sebuah benda buatan manusia belaka).
Ralph
M. Goldman mengatakan, strategi merupakan “suatu keseluruhan rencana
brtindak yang dipakai seorang pemain dalam mencapai suatu hasil atau
serangkaian hasil yang diinginkan dalam keadaan yang merugikan atau
konflik “, dan terdiri dari “semua kesatuan rencana yang berbeda-beda
yang dimiliki pemain tersebut untuk menentukan tentang bagaimanakah cara
untuk bertindak selanjutnya”. Sebenarnya
, tidak hanya ada satu macam teori permainan saja akan tetapi ada
beberapa macam teori permainan yang mengajukan berbagai macam struktur
hasil yang mungkin diperoleh. Pada umum nya , mungkin ada :
- permainan yang dimainkan antara dua orang yang hasil nya tidak berjumlah nol
- permainan yang dimainkan antara dua orang yang hasil nya tidak berjumlah nol
- permainan yang jumlah pemain nya banyak dengan hasil yang berjumlah nol, dan
- permainan dengan jumlah pemain banyak yang hasil nya tidak berjumlah nol
Pada
(1) hanya ada dua pemain, dan hasil yang diperoleh salah-satu pihak
selalu sama jumlahnya dengan kerugian yang diderta pihak lain,besarnya
hasil yang diperoleh kedua pihak tersebut adalah nol. Pada (2) dan (3) ,
yang melibatkan dua atau banyak pemain didalam pertandingan tersebut ,
para pemain mungkin membagi secara sama perolehan hasil diantara mereka,
dan besarnya hasil yang diperoleh salah satu pemain tidak selalu harus
sama dengan kerugian yang diderita pemain lainnya. Pada (4), yang
melibatkan tiga pemain atau lebih , situasi permainan menghasilkan
banyak sekali ciri baru , dan ada kemungkinan bagi dua pemain atau lebih
akan bekerja sama melawan pemain lainnya dengan cara menyatukan
sumber-sumber mereka yang mengambil keputusan kolektif selama
berlangsungnya permainan tersebut
Beberapa Penerapan Teori Permainan : Morton Kaplan , William H. Riker , Thomas C. Schelling
Kaplan
menggambarkan analisa permainan sebagai ”alat terbaik yang dapat
dipakai untuk menganalisa problema mengenai strategi” dan beranggapan
bahwa seandainya dipakai sebagaimana mestinya maka analisa permainan
tersebut “mungkin akan memperbesar pemanfaatan keberhasilan dalam
kebijaksanaan “
Penulisan
Kaplan yang kasar dan lepas hampir tidak sebanding dengan pernyataan
mengenai arti penting teori tersebut. Teori permainan tersbut tentu saja
tidak dapat diterapkan pada fenomena politik dengan cara yang telah
dilakukan oleh Kaplan . “ Dilema Kaplan yang mendasar “, seperti yang
dikatakan Meehan dengan tepat, “ adalah suatu keinginan untuk
mempergunakan teori permainan dengan cara yang benar-benar tidak dapat
dibenarkan dewasa ini “ . seperti yang dikatakan oleh Anatol Rapoport,
teori permainan terapan sedikit banyak haruslah memberikan cara-cara
pemecahan riil untuk problema yang riil yamg sangat sulit ditangani di
dalam matrik permainan “ . satu-satu nya cara untuk menerapkan teori
permainan itu guna melayani kebutuhan penyelidikan politik dengan
mengarahkannya pada tujuan lain dan inilah yang telah dilakukan oleh
Schelling dalam penyelidikan mengenai konflik dan Riker dalam
penyelidikan tentang koalisasi yang pertama adalah dengan menggunakan
perangkat kosneptual teori permainan tersebut sebagai suatu alat untuk
menjelaskan, dan yamg kedua adalah dengan menggunakan nya sebagai suatu
dasar penyelidikan terhadap fenomena empiris. Sementara menguji teori
permainan itu, mereka telah mengubah teori tersebut secara sedemikian
radikalnya sehingga teori itu telah kehilangan sejumlah besar formalitas
dan kekakuannya dan telah menjadi lebih bermanfaat bagi penyelidikan
politik.
Seperti
Kaplan , Riker juga memoergunaka model teori permainan untuk memahami
politik internasional . model yang dipakainya adalah suatu permainan
yang jumlah permainannya banyak dan hasilnya nol.yang menharapkan para
pemain yang rasional , informasi yang lengkap , pembayarannya tambahan
atau tawar-menawar di antara para pemain . Riker telah menggunakan tiga
prinsip pokok yang dikembangkannya dari model teori permaian tersebut
pada data empiris atau historis. Prinsip pokok tersebut adalah prinsip
“ukuran “ , prinsip “strategi”, dan prinsip “ disequilibrium “.
Pemehamannya akan prinsip ukuran mendorongnya menarik kesimpulan
bahwa usaha-usaha untuk membentuk suatu koalisasi tidak hanya bertujuan
memperbesar koalisasi itu sendiri .ukuran besar nya koalisasi tersebut
dipertahankan hanya sebesar seperti para pembuat keputusaannya yakin
akan meraih kemenangan . hal ini juga tergantung pada informasi yang
diperolah mengenai berbagai prinsip mengenai koalisasi . prinsip
informasi tersebut merupakan akibat wajar dalam model Riker untuk
prinsip ukuran dan selanjutnya dipergunakan dalam penyelidikan mengenai
proses-proses yang tercakup daalam pembentukan koalisasi .koalisasi
seperti yang dikatakan Riker , pada mulanya adalah “proto koalisasi “
dan berkembang dengan bertambahnya anggota yang di beri “ pembayaran
tambahan “ apabila satu proto-koalisasi terbentuk,maka anggota yang
berada diluar koalisasi tersebut menjadi takut bahwa proto koalisasi itu
akan melakukan agresi membentuk proto koalisasi lain. Tetapi tujuannya
adalah mengubah suatu “proto-koalisasi” menjadi “ koalisasi yang menang “
. bagaimana caranya melakukan hal itu ??? di sinilah prinsip strategi
muncul. Strategi dibutuhkan dalam rangka memperbesar kemungkinan meraih
keberhasilan dalam mengubah suatum proto-koalisasi menjadi posisi yang
menang.
Yang ketiga, ada prinsip disequilibrium.
Model yang dipilih adalah yang tidak stabil dan tidak memiliki
ekuilibrium atau keseimbangan dan seandainya berhasil dicapai suatu
ekuilibrium yang bersifat sementara maka ekuilibrium tersebut segera
tumbang.dengan demikian, Riker telah mencoba menjelaskan bahwa sangatlah
keliru kalau kita beranggapan bahwa politik, hanya karena politik
tersebut rasioanl ,harus stabil..dalam pembentukan koalisasi, unsur
instabilitas (ketidakstabilan) dan disequilibrium (ketidakseimbangan )
selalu ada.
Ilmuan
politik terkemuka lainnya yang telah menerapkan teori permainan pada
politik internasional secara lebih efektif daripada Kaplan dan Riker
adalah Schelling. Karya Schelling merupakan “suatu sumbangan besar bagi
perkembangan teori permainan dan sekaligus suatu contoh yang baik
mengenaiketidakbergunaan apa yang dinamakan sebagai suatu pendekatan
teori permainan bagi penyelidikan tentang problem politik. Sebenarnya
Schelling, sedang berusaha mencari suatu teori permainan yang dapat
diterapkan secara lebih bermanfaat oleh ilmuan sosial dan, oleh karena
itu, siap melepas kelengkapan formal dan kecermatan teori tersebut dalam
rangka membuatnya bermanfaat.
Schelling mengembangkan suatu pendekatan baru terhadap konsep “langkah “ (move). Penggolongannya langkahnya berbeda
dengan penggolongan teori permainan yang lazim yang bersifat abstrak
dan formal, dan akan mempertimbangkan aspek-aspek psikologis dari
pemilihan. Schelling juga berusaha mengadakan perubahan pada landasan pemikiran strategis
tersebut. Menurut dia, pemilihan strategi lebih ditentukan oleh
pertimbangan empiris daripada sekedar pekerjaanformal belakadan
meencangkup suatu bagian yang penting dari penyelidikan itu , suatu
usaha memahami permainan yang “ didorong olrh hasrat campuran “tersebut.
Teori Permainan : Suatu Penilaian
Teori
permainan didasarkan pada asumsi tertentu yang mungkin memerlukan
dilakukannya suatu penilitian yang cermat , walaupun ketika diterapkan
oleh para penganjurannya yang terkemuka, teori tersebut telah mengalami
perubahan tertentu. Tetapi sebegitu jauh asumsi tersebut telah menjadi
ciri yang melekat dalam teori sehingga akan sulit bagi kita untuk
samakali meninggalkan asumsi tersebut.
Pertama,
teori tersebut menanggap bahwa para penbuat keputusan benar-benar
rasional, tidak memikirkan unsur moral dalm keputusan mereka dan
memiliki informasi lengkap yang mungkin mereka peroleh.
Yang
kedua , inilah hal yang di uraikan oleh oleh Joseph Fletcher , teori
permainan tidak tertarik pada etika seseorang, namun hanya pada apa yamg
disebut nya sebagai “ etika situasi” . pemain menaruh perhatian pada
hasil dan bukan pada proses lanjutan , pada strategi yang mungkin akan
dipilih mitranya dan bukan pada mengapa mitranya tadi memilih strategi
tertentu tersebut.[1]
BAB III
POLITIK BANGSA MASA KINI
A. PENGERTIAN POLITIK
Secara etimologi politik berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata polistaia.Polis diartikan negara, kota yakni suatu masyarakat yang mampu mengurus diri sendiri atau mandiri, sementarat a ia
berarti urusan. Secara sederhana dari tata bahasanya politik dapat
diartikan urusan yang mengurusi masalah negara kota. Menurut para pakar
dan ahli politik.
1. Thomas
M. Magstadt dan Peter M. Schotten (1988:7), politik adalah segala
sesuatu mengenai bagaimana manusia diperintah, yang berkaitan dengan
tatanan, kekuasaan, dan keadilan.
2. Cecep
Darmawan (2009), politik ialah segala sesuatu yang berkenaan dengan
negara, termasuk didalamnya kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan,
maupun pembagian dan pengalokasian nilai- nilai didalam masyarakat yang
bersangkutan.
Pengertian politik dapat dilihat dan diklasifikasikan juga dalam ranah- ranah sebagai berikut:
1. Politik dalam arti kepentingan
Politik
adalah ilmu yang menjelaskan tentang kepentingan, baik dalam kontek
individu, kelompok, cara meraih, merebut, atau memperhatikan kepentingan
perorangan maupun kelompok.
2. Politik dalam arti kebijakan
Politik
adalah aturan main dalam mengurusi masalah kebijakan- kebijakan dalam
mempertahankan kepentingan yang dapat diterima oleh berbagai kalangan.
Dengan karakteristik terjadinya sebuah pengembangan makna politik, luas
dan berkembangnya kajian atau objek ilmu politik.
3. Politik secara institusional
Politik
adalah ilmu yang mempelajari lembaga-lembaga politik seperti negara,
pemerintah, DPR dsb semuanya terkait dengan kajian ilmu politik.
4. Menurut hakikat politik itu sendiri
Politik adalah ilmu yang meneliti manusia dalam usahanya memperoleh kekuasaan(postulation approach), tentang kehausan kekuasaan, motivasi memperoleh dan menggunakan kekuasaan (psocologys approach) juga sebagai kajian kekuasaan sebagai gejal sosial, dimana kekuasaan itu berlaku atau digunakan sebagai alat untuk menjelaskan keadaan masyarakat(sociologis approach).
B. SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU POLITIK
1. Asal muasal kemunculan ilmu politik
Jika
hanya dilihat dari rumpun ilmu social maka politik masih dikatakan
sangat muda karena politik baru lahir apda abad ke-19. Namun jika kita
pandang dari objek kajian politiknya itu sendiri secara orisinil maka
ilmu politik usiannya sudah sangat tua, bahkan sampai disebut sebagai
ilmu social tertua. Untuk lebih jelasnya kita bisa mengkajinya dari
sudut pandang kajian orisinalnya, menurut sejarah ilmu politik telah ada
sejak tahun 450 S.M. (Budihardjo, 2008:5). Buktinya pada saat itu
pemikiran mengenai negara telah ada di Yunani kuno, hal ini diperjelas
oleh karya-karya Herodicus (ahli sejarah), Plato(Bapak filsafat
politik), Aristoteles (Bapak ilmu politik) yang telah meletakan
dasar-dasar ilmu politik.
2. Perkembangan politik di Indonesia
Jika
kita mengkajinya lebih dalam, disesuaikan dengan pengertian politik
secara umum, maka kita bisa menyebutkan bahwa politik di Indonesia juga
telah lahir jauh-jauh hari tepatnya sejak masyarakat ada, lalu mengkaji
konsep mengenai masyarakatnya, dan terlebih pada upaya-upaya pemilihan
para pemimpin mereka. Perkembangannya dilanjutkan juga oleh masyarakat
yang membentuk suatu kerajaan. Maka mereka telah menggauli ilmu dan
kajian politik. Hanya saja yang perlu kita garis bawahi adalah perbedaan
khususnya saja, antara politik jaman dahulu dengan politik masa kini.
Dan juga mungkin mereka tidak mengetahui kalau-kalau yang mereka lakukan
itu aalah proses politik.
Memang
sangat jauh berbeda sesuai dengan tahap perkembangan. Perkembangan yang
kami maksudkan yaitu perkembangan kebudayaan, peradaban, latar belakag
pendidikan dan yang tidak kalah penting dilihat dari perkembangan
penmgaruh bagsa luar yang masuk kedalah bangsa atau peradaban suatu
bangsa atau negara. Ditambah lagi dengan perkembangan. Ilmu Pengetauhan
dan Teknologi yang saat ini sedang kita rasakan bersama.
Tentulah
politik abad lalu dengan abad sekarang jauh berbeda. Kendati demikian
jika melihat dari perkembangan pola, bentuk dan konsep mengenai
politiknya itu sendiri maka kami sangat optimis meramalkan bahwa politik
dinegara kita akan teurs mengalami perkembangan dan gejolak yang lebih
besar dari pada yang sekarang kita alami dan rasakan ini. Mungkin itu
lebih baik ataupun sebaliknya malah lebih buruk (dilihat dari banyak
sedikitnya memberikan maslahat bagi masyarakat).
C. KONSEP DASAR ILMU POLITIK
Jika
kita kaji lebih dalam mengenai objek kajian ilmu politik maka
jawabannya akan sangat banyak dan beragam, namun agar kajiannya menjadi
lebih sederhana dan lebih mudah dipahami maka kami akan menguraikan
dalam kajian-kajian sebagai berikut:
1. Negara
Negara
adalah organisasi masyarakat yang memiliki wilayah, memiliki kekuasaan
dan diaukui secara de yure dan de facto oleh angotanya (rakyat) juga
oleh beberapa negara lain secara sah dan ditaati oleh raakyatnya. Dalam
hal ini Negara berfungsi sebagai agen bagi proses pelaksanaan
kepentingan politik atau aspirasi masyarakat. Adapun yang menjadi tugas
negara dalam hal ini ialah:
a. Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan pada masyarakat
b. Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan kearah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat umum.
2. Kekuasaan
Kekuasaan
adalah kemampuan seseorang atau kelompok manusia untuk memengaruhi
tingkah laku seseorang atau kelompok lain dengan sedemikian rupa
sehingga tingkah lakunya sesusi dengan yang dinginkan oleh orang atau
kelompok yang memepengaruhinya (Miriam Budiardjo,1992:35). Dalam hal ini
kekuasaan juga jelas sangat terkait erat dengan politik. Kekuasaan
menjadi objek yang cukup vital dalam kajian politik. Dan selama
kekuasaan itu diingikan untuk ada maka selama itu pula politik akan
tetap ada dalam kehidupan umat manusia.
3. Kebijakan dan Pengambilan Keputusan
Berpolitik
adalah bertindak sesuai dengan kondisi dan situasi tertentu dalam
mengarahkan tindakan pada sebuah tujuan. Dalam hal ini perlu diketahui
bahwa politik merupakan alternatif yang diterapkan untuk mencapai suatu
tujuan, salah satunya tujuan untuk mengangkat seorang pemimpin, maka
politiklah alternatifnya.
4. Konflik dan Kerjasama
Hal
ini pula yang cukup menjadi sorotan penting dalam kajian ilmu politik.
Karena manusia itu pada dasarnya memiliki keinginan dan harapan
masing-masing serta diberkahi cara pandang yang berbeda maka hal ini
akan mengakibatkan kemungkinan munculnya kerjasama atau sebaliknya
konflik. Dalam dunia perpolitikan hal ini sangat mungkin terjadi. Namun
itu adalah hal yang wajar dan alamiah.
D. PARTAI POLITIK
1. Definisi partai politik.
a. Menurut
Carl J. Friedrich, partai politik adalah sekelompok manusia yang
teroragisir secara stabil dengan tujuan untuk merebut atau
mempertahankan kekuasaan terhadap pemerintahan (bagi pimpinan
partainya), dimana kekuasaan ini akan memberikan manfaat yang bersifat
idiil dan materil kepada anggota partainya.
b. R.H
Soltau, partai politik adalah sekelompok warga negara yang sedikit
banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan
yang memanfaatkan kekuasaannya dengan tujuan untuk menguiasai pemerintah
dan melaksanakan kebijakan umum mereka.
c. Sigmun
Meuman mengartikan partai politik sebagi organisasi dari aktivis-
aktivis politik yang berusaha untuk mengusai kekuasaan didalam
pemerintahan serta merebut dukungan rakyat, yang didasari oleh
persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang
mempunyai pandangan yang berbeda.
2. Tujuan dan fungsi partai poltik
Tujuan partai politik sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-Undang No. 2 tahun 2008,
a. Tujuan umum:
· Mewujudkan cita-cita nasional bangsa
· Menjaga dan memelihara keutuhan NKRI
· Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila
· Mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia
b. Tujuan khusus:
· Meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintaan
· Memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
· Membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3. Fungsi Partai politik:
a. Sebagai sarana komunikasi politik
b. Sebagai sarana sosialisasi politik
c. Sebagai sarana rekrutmen politik
d. Sebagai sarana pengatur konplik
E. DEMOKRASI
Demokrasi
berasal dari bahasa yunani dari kata demos yang berarti rakyat dan
kratos atau kratein yang berarti kekuasaan atau berkuasa. Secara istilah
demokrasi diartikan pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat, baik
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Unsur pokok demokrasi:
1. Dukungan yang luas kepada pemerintahan
2. Kompetisi kekuasaan
3. Pergantian kekuasaan
4. Perwakilan umum
5. Kekuasaan mayoritas
6. Hak dan perbedaan pendapat dan pengabaian perintah
7. Persamaan hak politik
8. Konsultasi umum
9. Kebebasan pers.
Model-model demokrasi :
1. Sistem presidesial (Amerika)
2. Sistem parlementer (Inggris)
F. INTEGRASI, DEMOKRASI DAN PEMBAHARUAN POLITIK
Pada
waktu anggota DPR/MPR periode 1987-1992 dilantik 1 oktober 1987, para
anggota mengangkat sumpah/janji, bahwa mereka akan membela pancasila
sebagai dasar negara, sebagai pandangan hidup dan sebagai ideologi
nasional. Upacara pelantikan tersebut merupakan puncak penggalangan
politik, yang dirintis sejak Seminar II Angkatan Darat bulan Agustus
1966 dan disempurnakan dalam Seminar Hankam bulan November 1967, yang
akan dibangun selesai runtuhnya Orde Lama.
Dasar
rumusan ideologi pancasila sebagai dasar negara resmi dimulai setelah
Sidang MPR 1978. Akan tetapi usaha pertama ke arah itu Dasar pemikiran
waktu itu adalah bahwa kekacauan ideology menimbulkan kekacauan
kehidupan politik. ³terlalu banyak peta, terlalu banyak petunjuk´,
begitulah almarhum Mayjen Soewarto, Komandan Seskoad waktu itu, dalam
membahas tantanan dan proses politik setelah 1966-1967.
Pokok pemikiran Seminar II Angkatan Darat dan Seminar Hankam itu berkisar pada dua masalah.
1. Kesatuan dan persatuan harus dijaga, berapapun biayanya,
2. Stabilitas
politik merupakan prasyarat usaha-usaha lain, seperti pembangunan
ekonomi, akan tetapi kepanglimaan politik diubah dalam artian, syarat-syarat kehidupan politik tidak lagi didasarkan pada kepanglimaan partai, melainkan kepanglimaan peran unggul ABRI. Karena itu, meskipun prioritas pembangunan adalah ideology pembangunan´; kepanglimaan politik berangsur ditangani oleh tritunggal ABRI-Golkar-Kopri, terutama setelah Pemilu 1971.
Dengan segala kelemahan dan kekurangan yang masih ada, ABRI adalah satu-satunya kelembagaan sosial d-politik yang mempertahankan Indonesia secara rasional menyeluruh. Langkah-langkah perluasan kehidupan demokrasi di Indonesia serta pemikiran-pemikiran pembaharuan hanya dapat dilakukan, sejauh persepsi tentang persatuan dan kesatuan tidak terancam. Batasan ini perlu dikemukakan, arena perdebatan tentang ³demokratisasi kehidupan politik´dan´pembaharuan politik´hanyalah dapat dilakukan dengan realistis, apabila kedudukan unggul atau keporosan ABRI diakui sebagai premis dasar.
Oleh karena itu, salah satu faktor politik yang harus diakui ialah, bahwa untuk jangka waktu 5-10 tahun mendatang, bobot dari keperosotan peran ABRI akan tetap memainkan peran yang paling menentukan, meski bukan peran satu- satunya.
Sebabnya sederhana saja. ABRI adalah satu-satunya kelembagaan sosial- politik, yang mampu menyelaraskan satunya ideology dengan organisasi. Tanpa organisasi ideology akan terbang layang sebagai gagasan lepas. Dengan melalui organisasi, ideology menjadi peta bumi politik, pegangan yang yang dipakai sebagai dasar berbuat, bertindak, dan berkarya. Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk dan dalam geografi tanah air kita yang terbentang luas, ABRI adalah ABRI adalah kelembagaan yang paling tidak acak di antara kelembagaan sosial-politik lainnya yang amat acak.
Sekarang sudah lebih 20 tahun kita bergumul dengan masalah- masalahpersatuan dan kesatuan. Sudah tiba saatnya untuk memikirkan bagaimana mengisi integrasi nasional tadi dengan demokrasi dan pembaharuan.
Generasi yang lahir mereka sepenuhnya mekar dan dewasa dalam alam serba pembangunan. Spontan, berani dan kreatif, mereka tidak ada cacat mental ³pernah merasakan masa penjajahan´ yang dialami kakek-kakek mereka. Jiwa pembaru-ditambah dengan kesadaran, bahwa bangsanya terlibat dalam persaingan ketat dengan kesadaran, bahwa bangsanyaterlibat dlam persaingan ketat dengan bangsa lain didunia membuat mereka hampir-hampir menerima sebagai wajar persoalan mendasar, seperti kesatuan-kesatuan.
Dalam pada itu, kita harus sadar, bahwa perubahan cepat yang telah kita alami selama 20 tahun lebih, mau tidak mau memaksa kita untuk memikirkan perlunya pemikiran kea rah partisipasi yang lebih luas daripada yang telah dikerjakan selama ini. Tahap sentralisasi dan integrasi sebagai sasaran pokok, perlu dilengkapi dengan tahap persiapan demokratis melalui keikutsertaan yang lebih tersebar. Kunci persoalannya adalah bagaimana kita mengelolanya sedemikian rupa, sehingga proses demokratisasi tidak diarikan sebagai tahap menuju anarki, apalagi disentegrasi. Sebaliknya setiap tahap harus dapat mencari bentuk-bentuk kelembagaan sosial, ekonomi, dan politik yang makin membuahkan rasa yang memiliki yang lebih luas di kalangan pimpinan masyarakat dari berbagai kalangan dan golongan.
Gagasan pembaharuan perlu dikaji secara konseptual dan dicooba secara operasional secara bertahap, agar tiap-tiap kesalahan atau kemelesetan operasional dapat dikoreksi dalam batas-batas kemampuan kendali. Dengan demikian fungsi integrasi diperkuat oleh demokratisasi dan dihidupkan oleh pembaharuan-pembaharuan yang selektif. Setiap keberhasilan dalam mata rantai integrasi, demokratisasi dan pembaharuan, pada gilirannya memperkuat tiap satuan dalam mata rantai. Tapi karena dapat menyalurkan aspirasi yang berbeda-beda setiap lingkungan masyarakat, daerah, adat, bahasa dan keagamaan yang beraneka ragam, tanpa kehilangan kerangka dasar persatuan dan kesatuan.
G. PEMBANGUNAN POLITIK MASYARAKAT
Pada
kenyataannya masyarakat kita belum semuanya paham dan mengerti mengenai
politik baik secara khusus ataupun secara keseluruhan. Maka dari itu
dengan tujuan untuk memberikan pengertian dan pemahaman kepada
masayrakat perlu kiranya dilakukan yang namanya pendidikan politik. Hal
ini bisa dilakukan dalam pendidikan formal, informal ataupun non formal.
Hal perlu mengingat seperti yang kita tau saat ini paradigma masyarakat
tentang politik sangat kurang baik, mereka memandang dan berkata bahwa
politik itu kotor. Benarkah? Karena hal itu sehingga angka golput dalam
beberapa pemilihan umum begitu meningkat signifikan.
Selain
itu tujuan dari pendidikan politik itu ditujukan untuk membangun dan
meningkatkan partisipasi politik, guna mewujudkan tujuan dari politik
itu sendiri seutuhnya sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-undang
No.2 Tahun 2008 tentang partai politik.
H. POLITIK MODERNISASI
Beberapa
konsekuensi modernisasi harus diperhatikan seiring dengan pembicaraan
yang dibahas. Orang-orang mungkin merasa kehilangan kepribadian moral
mereka. Komunitas-komunitas yang mungkin kita kenal telah berubah
bentuk. Masyarakat yang sedang dalam proses modernisasi diri mencari
bentuk baru bagi kesempurnaan, kepastian baru untuk menggantikan sesuatu
yang telah hilang melalui perubahan. Semua masyarakat yang
memodernisasikan diri berada dalam proses transisi.
Efek
kondisi-kondisi selama modernisasi adalah tekanan yang yang berlebihan
pada kekuasaan. Kekuasaan adalah kompensasi bagi kelemahan dan
disintegrasi serta yang paling potensial untuk dipenuhi. Proses
modernisasi menghasilkan suatu dorongan kuat pada individu,
kepemimpinan, serta kebengisan pada suatu waktu di saat masyarakat
industri yang kompleks bergelut dengan masalah hilangnya individualitas,
dengan alienasi dan perasaan individu yang berlebihan.
Modernisasi
merupakan suatu tujuan yang tidak dibatasi pada sebuah tempat atau
wilayah tunggal, pada sebuah Negara atau kelas tertentu atau pada
sekelompok rakyat dengan hak-hak istimewa. Modernisasi dan keinginan
untuk itu, menjangkau seluruh dunia. Jadi, modernisasi adalah sejenis
harapan yang khusus. Melekat di dalamnya adalah seluruh revolusi sejarah
masa lampau serta seluruh keinginan manusia yang paling tinggi. Apa pun
arah yang diambilnya perjuangan untuk menjadi modern memberi arti
tertentu bagi generasi kita. Ia menguji pranata dan kepercayaan lama
kita.. ia meletakkan Negara kita di bursa gagasan dan ideologi. Begitu
kerasnya kekuatan yang terjadi sehingga kita terpaksa untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan baru terhadap pranata kita sendiri. Setiap Negara,
apakah sudah modern, atau sedang menjadi modern, sama-sama mengharap
dan takut akan hasilnya. Contohnya masalah politik kembar yang dihadapi
semua pemerinyah yaitu perubahan yang tertata serta suksesi damai di
dalam pemerintahan.
Pranata
demokratis seperti yang kita ketahui telah mengalami transformasi yang
begitu radikal di kebanyakan Negara yang sedang menjadi modern sehingga
merupakan penyimpangan yang membuta bagi kita kalau tidak mengakui bahwa
pranata-pranata tersebut telah berubah menjadi sesuatu yang lain.
Pendekatan untuk melihat masyarakat seperti itu sebagai masyarakat yang
prademokratis membawa kita pada pandangan bahwa pranata-pranata paksaan
tertentu mungkin diperlukan bagi pengaturan dan integrasi dari suatu
komunitas yang sedang menjadi modern.
Aspek
dinamis dari modernisasi bagi studi politik dapat dinyatakan dalam
proposisi umum, bahwa modernisasi adalah suatu proses meningkatnya
kompleksitas masalah-masalah manusia di dalam mana kepolitikan harus
bertindak. Inilah sebabnya mengapa ia menciptakan sejumlah masalah
politik. Di dalam ukuran besar, politik menjadi urusan melingkupi
deferensiasi peran sekaligus mengintegrasi stuktur organisasional. Namun
tindakan-tindakan politik yang muncul dari meningkatnya kompleksitas
semacam itu bukanlah tanggapan murni dari para pemimpin politik diluar
konteks politik. Yang dimaksud konteks politik tersebut adalah dimana
pemerintah melangsungan kewenangan karena struktur-strukturnya berubah
begitu pula tanggapan politiknya.
Bagi
para pengamat yang belajar di dalam tradisi Barat dan menaruh perhatian
pada masalah-masalah masyarakat industry modern, suatu cara yang
bermanfaat untuk menata hubungan ±hubungan sosial dan politik bagi
tujuan- tujuan perbandingan adalah melalui studi tentang stratifikasi
social.
Modernisasi
mungkin bisa digambarkan didalam masyarakat nonindustri sebagai suatu
penggantian (transposisi) peran-peran tertentu secara profesional,
teknis, administrative serta penggantian institusi-institusi yang
mendukung peran-peran ini seperi rumah sakit, sekolah, universitas,.
Meskipun demikian, masyarakt nonindustri yang sedang menjadi modern
kekurangan daya dorongan pemersatu seperti masyarakat industry.
Beberapa ciri modernisasi yang terdapat dalam masyarakat industri modern oleh F.X Sutton:
1. Keunggulan norma-norma universal, spesifik dan pencapaian.
2. Tingginya derajat mobilitas social (secara umum, dan tidak harus dalam pengertian mobilitas vertical).
3. System pembagian kerja yang berkembang baik, terpisah dari struktur social lainnya.
4. System kelas ³egaliter´ didasarkan atas pola-pola umum dari pencapaian kerja.
5. Adanya µasosiasi yang secara fungsional memiliki struktur khusus dan non-askriptif. [2]
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Teori
alienasi adalah teori yang merujuk kepemisahan hal hal yang secara
alamiah milik bersama, atau membangun antagonisme diantara hal hal yang
dianggap pas sudah berada dalam kesetaraan.
2. Dimensi
politik luar negeri Negara berkembang lebih kompleks dibandingkan
dengan model untuk studi politik luar negeri negara maju.
3. Games
theory merupakan sebuah pendekatan terhadap kemungkinan strategi
politik yang akan dipakai, yang disusun secara matematis agar bisa
diterima secara logis dan rasional.
4. Politik
pada dasarnya adalah hal yang baik untuk diketahui, dipahami untuk
diaktualsasikan dalam aktivitas dan partisifasi aktiv masyarakat dalam
setiap kegiatan perpolitikan bangsa. Apalagi beberapa hari lagi pesta
demokrasi akans segera dilaksanakan. Kita akan dapat mengidentifikasi
permasalahan dunia perpolitikan negara kita. Dengan melihat langsung
nanti pada pelaksanaan pesta demokrasi tersebut. Jika masyarakat
Indonesia partisifasif berarti politik kita baik-baik saja, sebaliknya
jika nantinya banyak yang golput atau bahkan tidak memberikan suaranya
sama sekali, mak perpolitikan kita harus segera mendapat perhatian yang
cepat dan serius. Mengingat saat ini sepertinya telah tertancap dalam
paradigma masyarakat mengenai kotornya politk. Wallau alam.
B. Saran
1. Dalam
pembahasan teori alienasi harus dicari suatu kesetaraan dalam pemisahan
antagonism dan perlu ditingkatkannya pemahaman pembahas tentang teori
tersebut.
2. Dalam
pemahaman teori politik luar negeri Negara berkembang harus adanya
pembahasan dan contoh yang lebih kompleks tentang hal tersebut agar
mudah dicerna oleh pembaca.
3. Perlu
ditingkatkannnya ketelitian dalam pelaksanaan games theory oleh para
pelaku politik karena hal ini mengandung unsur aritmatika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar